Kini hidroponik mulai menjamur di Karawang yang merupakan sentra padi.
Sawi sendok berwarna hijau tertata di baris teratas dan bawah mengapit selada berwarna hijau kemerahan. Aep Saefulloh menanam sayuran anggota famili Brassicaceae itu secara hidroponik di halaman depan sekaligus berfungsi sebagai pagar. “Sayuran hidroponik itu sebagai kamuflase pagar,” ujar pehobi di Desa Pinayungan, Kecamatan Telukjambe Timur, Kabupaten Kawarang, Jawa Barat, itu.
Ia memanfaatkan halaman sepanjang 5 meter dan lebar 0,5 meter untuk menanam sayuran secara hidroponik sistem nutrient film technique (NFT) bertingkat. Sebelum menerapkan sistem NFT bertingkat, Aep menggunakan sistem NFT berjajar pada Desember 2014. Atap teras rumahnya menghalangi sinar matahari sehingga, “Sebagian tanaman mengalami etiolasi,” ujarnya. Itulah sebabnya ia menerapkan talang bertingkat.
Tren hidroponik
Aep merangkai hidroponik dalam lima tingkat. Ia memanfaatkan wadah permanen setinggi 30 cm sebagai tandon larutan nutrisi. Bangunan itu dahulu sebagai tempat menanam tanaman hias bermedia tanah. Papan stirofoam sebagai penutup tandon nutrisi. Alumnus Universitas Singaperbangsa Karawang itu tak membiarkan stirofoam itu kosong begitu saja. Aep melubangi stirofoam itu dan memanfaatkannya untuk menanam kangkung dengan sistem rakit apung.
Sayang, produksi kangkung tidak maksimal karena pencahayaan terhalang sayuran di atasnya. Aep hanya satu di antara para petani hidroponik di area lumbung padi itu. Hidroponik memang tengah merebak di Karawang. Para petani atau pehobi hidroponik itu tergabung dalam Asosiasi Hidroponik Karawang. “Di asosiasi para anggota bukan hanya belajar hidroponik, juga saling berbagi pengalaman bahkan membantu memasarkan produk,” ujar Ajud Tajrudin, ketua asosiasi.
Ajud menanam sayuran secara hidroponik sejak Maret 2014. “Pertama berhidroponik menerapkan sistem sumbu,” ungkap alumnus Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor itu. Mereka memanfaatkan barang di sekitar seperti botol plastik dan busa jok kursi sebagai media penanaman. Kala itu ia hanya menanam beberapa botol mentimun dan kangkung. Kini penyuluh pertanian di Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP3K) Kecamatan Telagasari, Karawang, itu memanfaatkan halaman seluas 8 m x 6 m untuk berhidroponik.
“Kebun lebih dimanfaatkan sebagai pusat pembelajaran,” ujar ayah dua anak itu. Ajud mampu memanen 100 gram per tanaman. Pekebun lain di Karawang adalah Agus Rosidi yang menerapkan sistem hidroponik NFT. Kebun hidroponik yang berlokasi di Desa Pasirkamuning, Kecamatan Telagasari, Karawang, itu tanpa rumah tanam alias greenhouse. Karena keterbatasan lahan, staf di Badan Pusat Statistik (BPS) Karawang itu memanfaatkan halaman depan rumah seluas 16 m2 untuk pembibitan.
Untuk pembesaran tanaman di lahan berjarak sekitar 200 m dari tempat pembibitan. Agus memanfaatkan 2 meja hidroponik sepanjang 12 m untuk pembesaran tanaman. Jarak tanam 17 cm. Sebagai penyangga meja ia memanfaatkan bambu. Sebab, bahan itu mudah diperoleh di sekitar rumah. Agus menanam selada dan pakcoi. “Selada sebagai komoditas utama karena pasar banyak yang menginginkannya,” tutur Agus.
Pasar
Selain dari kalangan rumah tangga, ada pula instansi militer seperti di Komando Distrik Militer (Kodim) Karawang yang turut berkebun hidroponik. “Tujuannya untuk mewujudkan ketahanan pangan,” tutur Kapten Inf Rebin Hidayat, koordinator hidroponik di Kodim 0604 Karawang. Selain itu, hidroponik juga difungsikan sebagai percontohan bagi para anggota Kodim.
Menurut Rebin di setiap Koramil akan diinstruksikan untuk menerapkan budidaya sayuran hidroponik. Menurut Endang Sumarna, anggota staf bidang Hortikultura dan Perkebunan, Dinas Pertanian Kehutanan Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Karawang, hidroponik sejatinya lama diterapkan di Karawang. Endang Sumarna mengatakan kini hidroponik mulai marak lagi karena banyak dikenalkan oleh mahasiswa pertanian, dinas pertanian, maupun asosiasi.
Meski Karawang terkenal sebagai lumbung padi, di sana juga dikembangkan sayuran, terutama sayuran dataran rendah seperti kacang panjang, mentimun, dan cabai rawit. Kini para petani hidroponik membudidayakan beragam selada eksklusif. Aep mengatakan, perawatan sayuran hidroponik tidak rumit. Ia hanya memberikan pupuk AB mix. Ia tetap bisa merawat sayuran hidroponik itu di sela pekerjaannya sebagai pegawai di Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Karawang.

Aep Saefulloh (paling kiri berbaju hitam), Ajud Tajrudin (berbaju batik) bersama para pengurus Asosiasi Hidroponik Karawang.
“Biasanya pengerjaannya sepulang kerja atau pada hari libur,” ujarnya. Aep tidak terlalu susah untuk memasarkan sayurannya. Itu karena penjual burger yang melintasi rumahnya sering menanyakan kapan panen dan mereka siap membeli selada-selada itu. Agus menjelaskan, sampai saat ini pasar selada masih cukup luas. “Permintaan mencapai 20 kg per hari,” ujarnya.
Dari permintaan itu, ia baru mampu memproduksi 40 kg selada per pekan. Ia memasok selada ke pedagang burger. Harga jual selada Rp13.000—17.000 per kilogram. Secara ekonomis budidaya sayuran hidroponik juga menguntungkan. Dengan biaya produksi Rp600 per batang, pekebun bisa menjual minimal Rp12.000 per kilogram. Sementara harga jual ecer Rp2.000—Rp2.500 per batang.
Endang menjelaskan, penanaman sayuran hidroponik di Karawang lebih ke arah pemanfaatkan lahan pekarangan. Di sisi lain, “Hasil panen dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga,” ujarnya. Manfaat lain, budidaya sayuran hidroponik di pekarangan itu berpotensi menambah pendapatan mereka. (Desi Sayyidati Rahimah)
Sumber : t r u b u s – o n l i n e . c o . i d