Kunci sukses budidaya lele di dataran tinggi: mengontrol suhu air.
Dua rumah kaca masing-masing berukuran 35 m x 7 m x 2 m itu berjajar. Rangka baja kokoh menyangga bangunan beratap vinil itu. Plastik ultraviolet (UV) menyelimuti bagian sisinya. Bangunan seperti itu lazim untuk membudidayakan tanaman hias seperti krisan. Namun, begitu memasuki salah satu bangunan ternyata bukan hamparan tanaman hias. Yang ada justru deretan kolam terpal berukuran 2 m x 4 m x 1,3 m berisi lele sangkuriang.
Itulah panorama di kawasan pertanian dan peternakan terpadu Bumi Surya Tani (BST) di Desa Limbangan, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Ruangan itu bersih dan tanpa aroma tak sedap. Padahal, beternak lele biasanya identik dengan kotor dan bau. Airnya relatif jernih jika dibandingkan dengan kolam lele pada umumnya. Di setiap kolam terdapat gantungan papan nomor.

“Tingkat kematian tertinggi terjadi pada fase pembenihan,” ujar Ade Sunarma MSi, peneliti lele di BBPBAT Sukabumi
Dataran tinggi
Peneliti lele di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT), Sukabumi, Ade Sunarma MSi, mengatakan, “Peternakan lele milik BST paling mewah di antara peternakan lele yang pernah saya kunjungi.” Di sanalah Hendrawan Trenggana, pemilik BST, membesarkan lele sangkuriang. Ia rela merogoh kocek hingga Rp100-juta untuk membangun satu rumah pembesaran karena lokasi budidaya lele di ketinggian 750 m di atas permukaan laut.
Di ketinggian itu, suhu udara rata-rata 18—20°C. Menurut Solihin, penanggung jawab perikanan di BST, tujuan pembesaran dalam ruangan agar suhu air bisa memenuhi syarat agar lele tumbuh optimal. Pakar ikan konsumsi di Cianjur, Jawa Barat, Pepen Effendi, mengatakan suhu rendah memang menjadi faktor pembatas pertumbuhan lele. “Lele tumbuh optimal pada suhu air 29°C. Jika suhu 20°C, lele tidak mau kawin. Pada suhu 18°C lele cenderung berhenti makan,” ujarnya.
Turunnya nafsu makan membuat metabolisme dan pertumbuhan Clarias sp lamban. Pepen menuturkan lele tergolong ikan tropis sehingga cocok dibudidayakan di daerah berketinggian 0—700 meter di atas permukaan laut. Budidaya lele di dataran tinggi membutuhkan upaya lebih untuk meningkatkan suhu air.
Untuk mengatasi suhu air yang rendah, Pepen menyarankan agar lele dibudidayakan di dalam ruangan. “Jika suhu air masih rendah, peternak harus memasang pemanas atau heater dengan suhu optimal 29°C,” katanya. Namun, strategi itu tidak menjamin produksinya akan sebagus lele yang dibudidayakan di dataran rendah. Menurut Solihin, meski tanpa menggunakan alat pemanas, suhu air kolam di dalam rumah pembesaran lele sudah berkisar 25—30°C.
BST merawat lele secara intensif. Solihin menjaga kualitas air kolam yang bersumber dari mata air di dekat lokasi kawasan terpadu seluas 21 ha itu. Air mengalir melalui keran di setiap kolam. Untuk meningkatkan kebersihan air, ia memasang saringan alami berupa eceng gondok di setiap drum penyaring. “Itu salah satu kunci agar air kolam tidak berbau dan lele terhindar dari penyakit,” katanya.
Pelet pabrikan
Sebagai sumber nutrisi, Solihin memberikan 100% pelet pabrikan. Untuk 24 kolam pembesaran dengan populasi sekitar 1.000 ekor per kolam, BST membutuhkan 450 kg pakan per hari. Berdasarkan pengalaman Solihin, nilai efisiensi pakan di BST mencapai 90—95%. Itu karena feed conversion ratio (FCR) atau rasio konversi pakan hanya 1,1—1,15.
Artinya, untuk menghasilkan 1 kg lele membutuhkan 1,1—1,15 kg pakan. Jika nilai efisiensi pakannya rendah, maka kebutuhan pakan semakin besar. Menurut Yulian Riza dari PT Central Proteina Prima Tbk, produsen pakan ikan, peternak memang mencari pelet dengan nilai efisiensi tinggi agar bisa menekan biaya produksi. Itu dapat dipenuhi dengan menggunakan pelet pabrikan yang telah diuji melalui tes di laboratorium.
Kelebihan lain pelet pabrikan adalah memiliki daya rekat tinggi. Daya rekat butiran pakan mempengaruhi nilai efisiensi. “Jika daya rekat rendah, pelet mudah hancur atau larut dalam air sehingga terbuang sia-sia,” ujarnya. Kualitas pakan juga mempengaruhi tingkat kematian lele. Meski dibudidayakan di dataran tinggi, tingkat kematian lele di BST tergolong rendah.
“Tingkat kematian pada fase pembesaran tidak lebih dari 10%,” kata Solihin. Alumnus Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran itu mengatakan tingkat kematian tinggi terjadi pada fase pembenihan—pendederan, yakni mencapai 70%. Menurut Ade Sunarma, angka kelulusan hidup atau survival rate (SR) lele pada fase pembenihan—pembesaran berkisar 30—40%. Dengan kata lain tingkat kematiannya berkisar 60—70% dengan tingkat kematian tertinggi terjadi pada fase pembenihan.
Jadi, jumlah kematian benih yang terjadi di BST itu masih tergolong normal. “Jika nantinya induk yang digunakan berasal dari lele yang dibesarkan pada kondisi seperti di BST, maka angka kematian generasi berikutnya bisa ditekan. Itu karena induk sudah beradaptasi,” katanya.

“Kualitas pakan sangat mempengaruhi biaya produksi yang dikeluarkan,” ujar Solihin, penanggung jawab rumah kaca lele di BST
Untung
Rumah pembesaran lele yang dibangun pada 2010 itu seluruhnya untuk kolam pembesaran. Sementara pembenihan dan pendederan dilakukan di bangunan berbeda yang lebih sederhana. Rumah pembenihan dan pendederan hanya berangka bambu dengan naungan berupa plastik transparan. Solihin melapisi bagian bawah atap plastik dengan jaring peneduh. “Dengan begitu, suhu air bisa lebih dari 250C,” ujar Solihin.
Di kawasan BST terdapat empat bangunan pembenihan dan pendederan berukuran rata-rata 15 m x 20 m x 2 m. Di dalam bangunan terdapat kolam terpal berlapis plastik tertata rapi dan bersih. “Kami ingin mengubah citra lele yang selama ini dikenal ikan murahan yang tempat budidayanya kotor dan bau,” ujar Dede Hidayat, pegawai BST.
Menurut Solihin investasi untuk budidaya lele yang dilakukan BST memang tinggi. Namun, tetap memberi keuntungan yang menggiurkan. “Lama pemakaian rumah pembesaran itu tergolong awet, bisa lebih dari 10 tahun,” kata Solihin. Oleh sebab itu biaya penyusutan bangunan menjadi rendah. Lele produksi BST juga laku dengan harga lebih tinggi karena berkualitas prima. “Dagingnya gurih dan ukuran seragam, itu yang dicari konsumen,” kata Dede Hidayat.
Lele produksi BST laku dengan harga Rp14.000—Rp15.000 per kg. Padahal, harga lele produksi peternak di Sukabumi umumnya berkisar Rp13.000—Rp14.000 per kg. Dengan harga jual itu BST bisa meraup laba Rp1.000—Rp2.000 per kg. Dari total 24 kolam pembesaran, BST memanen 5—10 ton lele setiap pekan. Artinya, BST mendapat keuntungan bersih minimal Rp5-juta—Rp20-juta per pekan. (Rizky Fadhilah)
Sumber : t r u b u s – o n l i n e . c o . i d