Gunung Kidul, salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal sebagai daerah yang gersang dan tandus. Kondisi tersebut menyebabkan kegiatan bertani tidak dapat dilakukan sepanjang tahun karena mayoritas sawah yang ada merupakan sawah tadah hujan.
Kegiatan bertani dilakukan ketika memasuki musim penghujan, sedangkan musim kemarau petani hanya mengolah tanah dan mencari pakan untuk ternak. Tak hanya kondisi geografis, stigma kemiskinan juga sering melekat pada masyarakat tentang petani Gunung Kidul.
Di sisi lain, Gunung Kidul memiliki potensi yang belum banyak orang ketahui. Potensi itu berupa kebudayaan bertani. Kegiatan bertani yang tidak dilakukan sepanjang tahun nyatanya tetap bisa mencukupi kebutuhan.
Bahkan masyarakat Gunung Kidul mampu menciptakan kondisi ketahanan pangannya sendiri. Bagaimana cara petani Gunung Kidul bertahan?
Budaya Bertani
Petani Gunung Kidul memiliki budaya bertani yang unik. Kebudayaan tersebut merupakan rekayasa atas semua tantangan bertani yang bisa disebut sebagai kearifan lokal. Jika dilogika tentu akan sulit memenuhi kebutuhan hanya dari hasil panen.
Realita di lapangan, kesulitan itu mampu ditepis oleh petani Gunung Kidul. Mereka memiliki manajemen yang digunakan untuk mengatur kegiatan pertanian dan mengelola hasil panen.
Mulai dari awal kegiatan pra tanam dan pemilihan komoditas. Masyarakat Gunung Kidul menyadari bahwa sebagian besar lahan pertanian mereka merupakan lahan kering. Menurut Khalimi dan Kusuma (2018), potensi pertanian lahan kering di Gunungkidul digunakan untuk tegalan seluas 3.258 hektar dengan komoditas jagung, kacang tanah, ubi kayu, beberapa kedelai, dan ubi jalar.
Beragam komoditas tersebut seringkali ditanam dalam satu lahan yang sama baik dengan sistem tumpang sari maupun tumpang gilir. Hal tersebut dimaksudkan sebagai cadangan apabila padi mereka gagal panen. Berbeda dengan petani yang berorientasi pada keuntungan, mereka mengutamakan kebutuhan pangan lebih dulu.
Baru setelah itu panen yang berlebih akan dijual. Tidak banyak untung yang diperoleh, tetapi pangan mereka akan selamat hingga musim tanam berikutnya tiba.
Diversifikasi Pangan
Diversifikasi pangan merupakan suatu proses pemilihan pangan yang tidak tergantung pada satu jenis pangan saja, tetapi lebih terhadap berbagai bahan pangan mulai dari aspek produksi, pengolahan, distribusi, sampai aspek konsumsi pangan pada tingkat rumahtangga.
Kebijakan ini tidak hanya ditujukan untuk mengurangi ketergantungan pada beras, tetapi juga ditujukan pada penganekaragaman pangan yang berasal dari pangan pokok dan semua pangan lain yang dikonsumsi rumahtangga termasuk lauk-pauk, sayuran dan buah-buahan.
Hal ini dimaksudkan bahwa semakin beragam dan seimbang komposisi pangan yang dikonsumsi akan semakin baik kualitas gizinya (Suismo dan Hidayah 2011).
Jauh sebelum pemerintah membuat kebijakan diversifikasi pangan, masyarakat Gunung Kidul sudah lebih dulu menerapkan. Dalam hal makanan pokok petani Gunung Kidul tidak hanya mengonsumsi nasi, tetapi juga pangan lokal lain.
Kondisi lahan pertanian kering membuat banyak komoditas ditanam dalam satu lahan. Hasil panen komoditas non padi seperti jagung, singkong, dan ubi merupakan makanan pokok yang juga dikonsumsi oleh masyarakat Guung Kidul.
Makanan tersebut bukan suatu hal yang baru bagi masyarakat Gunung Kidul. Memakan beberapa jenis makanan pokok sudah menjadi sebuah kebudayaan. Kebiasaan yang kemudian menciptakan kondisi ketahanan pangan bagi masyarakat Gunung Kidul.
Musim Boro
Tidak banyak yang bisa petani lakukan saat musim kemarau. Bagi petani yang memiliki hewan peliharaan akan disibukkan mencari pakan. Akan tetapi, bagi petani yang tidak memiliki ternak mereka mempunyai banyak waktu luang.
Pada saat kemarau banyak petani yang kemudian merantau ke kota. Kondisi ini sering disebut dengan istilah boro. Pekerjaan sampingan dilakukan untuk mencukupi kebutuhan hidup seperti biaya pendidikan dan keperluan lain.
Selain ketiga aspek yang telah disebutkan, budaya gotong royong yang masih terpelihara juga membantu bertahan. Gotong royong ada dalam hampir setiap kegiatan yang dilakukan. Mulai dari pra tanam, saat budidaya, panen, dan pascapanen.
Beberapa petani juga masih bertukar hasil panen untuk memenuhi kebutuhan. Sifat sederhana yang ternyata mampu membuat petani Gunung Kidul lebih menikmati hidup dan rasa syukur di tengah derasnya arus globalisasi. (Megandini Listy Indira)
Sumber : f a r m i n g . i d